Ah! Kenapa bayang wajah itu tak jua hilang dari pikiranku, padahal belum
lama pertemuan itu terjadi. Rasanya belum puas kuluapkan rindu itu.
Sayang...adakah kau miliki rasa yang sama? Kupandangi lagi lukisan wajahmu di
atas kanvas yang tampak begitu sempurna, menyentuhnya mengikuti lekuk bidang
wajahmu, hidungmu, matamu, yang terasa begitu hidup.
Pixabay source
Sepuluh
tahun sudah kita hidup terpisah seperti ini, kadang rasanya aku tak sanggup
menahan debur gejolak rasa rindu yang memuncak...rindu akan sosokmu...Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam, namun entah mengapa rasanya mata ini sulit sekali kubuka. Sepertinya tubuh ini telah begitu letih hingga tak mau lagi kompromi. Berkali-kali kusruput kopi kental kegemaranku, kopi yang mengingatkanku pada dia. Sahabat penaku.
Namun
entahlah...sepertinya kantuk ini begitu kuat menyerang, hingga akhirnya akupun
terlelap dengan buku dalam dekapan. Dalam alam bawah sadarku aku bermimpi
berjumpa denganmu dan dia. Kau dan dia seolah tampak nyata, bagai dua sahabat
yang sejiwa, kompak dan begitu akrab.
My flower Jade! Begitulah dia selalu
memanggilku, menumbuhkan semangat di setiap jatuhku, di setiap lelah dan
kerinduanku padamu. Dia begitu lembut padaku...begitu halus tutur katanya,
hingga tak jarang aku dibuat melambung tanpa daya. Malam itu betul-betul malam
yang indah bagiku. Mimpi yang ingin kuwujudkan nyata.
***
Tiba-tiba aku terjaga.
Terdengar teriakan minta tolong yang diikuti sebuah bentakan dan pertengkaran
hebat.
"Toloooooongggggggg!!"
sebuah suara tertawa yang mengerikan terdengar begitu nyaring. Memekakkan
telinga di malam yang begitu sepi. "Ha..ha..ha..pergilah kamu ke neraka!!
Aku akan menikmati setiap jerit kesakitanmu!" ucap suara laki-laki yang
terdengar begitu kasar.
Astagfirullah... ada apa gerangan? Darimana suara itu terdengar. Ah..tiba-tiba bulu kudukku merinding, ada rasa takut dan khawatir yang menyergap. Andai saja di rumah ini ada sosok lelaki yang bisa melindungiku... pastilah aku tak setakut ini.
Astagfirullah... ada apa gerangan? Darimana suara itu terdengar. Ah..tiba-tiba bulu kudukku merinding, ada rasa takut dan khawatir yang menyergap. Andai saja di rumah ini ada sosok lelaki yang bisa melindungiku... pastilah aku tak setakut ini.
"arghhhhh!"
sebuah teriakan panjang seolah mengakhiri drama panjang itu. Sepertinya telah
terjadi sebuah tragedi, namun aku tak berani memastikannya. Tak lama kudengar
sirine ambulan memecah malam yang tlah kembali hening. Jam di kamarku menunjukkan
pukul 02.00 WIB. Sepertinya kantuk ini telah lenyap karena drama yang
menyeramkan tersebut. Semoga tak ada hal buruk terjadi. Aku berjalan ke kamar mandi, kupikir ini saat
yang tepat bagiku untuk menumpahkan segala beban hatiku. Satu minggu lagi
adalah ulang tahunmu, aku ingin mempersembahkan yang terindah untuk moment itu,
tuk membuatmu bangga. Malam itu kutumpahkan tangisku di atas sajadah cintaku.
Kuungkapkan segala kerinduanku padamu dan dia yang mendesak kuat. Memohon
sepenuh hati kan terijabahnya doa-doa panjang yang kupanjatkan di malam syahdu.
Dua hari kemudian...Sebuah ketukan di
pintu menggugah tidurku. Sepertinya aku kesiangan! kulirik jam beker di meja
riasku,...Pukul 06.00 WIB. Siapa gerangan yang bertamu di pagi buta begini.
Kilat kubasuh wajahku dengan air, kusambar jilbab pink favoritku. Saat kubuka pintu
itu...Aku hanya bisa terpana...tak mampu ucapkan sepatah kata. Di hadapanku
sebucket bunga mawar aneka warrna terangkai begitu indah, di tengahnya
menyembuh setangkai mawar yang tak biasa. Sebuah tangan menarik setangkai mawar
berwarna hijau dan menyodorkannya padaku. "For you...my flower!
JADE!" ucap dia dengan senyum penuh pesona. "Selamat ulang tahun
...!" katanya, yang membuatku sungguh tak berdaya. Aku bahkan tak ingat
kalau hari ini adalah ulang tahunku.
"Pagi
Jade! Cantik bukan? Secantik hatimu yang hiasi hariku, yang membuatku selalu
rindu akan sapamu" ucapnya lagi setelah sebelumnya mengecup bunga mawar
hijau yang dia sodorkan padaku. Ah,
Rey...kenapa kamu selalu bisa memahami hatiku? Adakah kau pasang chip dalam
tubuhku seperti dalam film-film detektif untuk mengetahui isi hatiku? Begitulah
batinku dalam hati kecilku, sementara senyum bahagia tak mampu kubendung lagi.
Rasanya tubuh ini ingin segera memeluknya sebagai ungkapan haru dan terima
kasih. Tapi tentu saja aku takkan melakukannya, kami bukan muhrim. Andai saja
Rey...ah kenapa aku selalu berandai-andai setiap kali berpikir tentangnya? Kupersilakan Rey untuk duduk menunggu di
teras, sementara aku menyiapkan segelas kopi hitam dan roti bakar untuk
menemaninya pagi itu dan meninggalkannya untuk mandi dan bersiap.
***